Konsep Pamali Kaitanya Dengan Seni Jolian

Foto: dokumentasi pribadi penulis
Oleh: Rendy Hardian Noviandy

Melihat fenomena di era modern, bahwa untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan khususnya di bidang kesenian tradisional, dewasa ini diperlukan wawasan dan strategis dan perhatian yang cukup serius. Hal ini karena adanya pergeseran fungsi seni tradisional dari seni ritual menjadi seni hiburan yang disebabkan oleh dampak moderenisasi. Di satu sisi perkembangan ilmu dan teknologi modern memberikan dampak kemajuan bagi kehidupan masyarakat, namun di sisi lain menimbulkan masalah bagi kehidupan seni tradisional. Hal ini merupakan hal yang wajar dan patut kita hadapi konsekuensinya oleh semua pihak yang berkepentingan.


Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini secara tidak langsung dapat mengubah kehidupan masyarakat. Ketika masyarakat masih percaya terhadap kekuatan alamnya, maka musik dan tari menjadi medium yang sering digunakan. Akan tetapi ketika manusia beralih kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, maka alam kemudian menjadi objek yang kurang mendapat perhatian. Sebagai dampaknya fungsi seni yang erat hubunganya dengan berbagai ritus dan adat istiadat semakin berkurang. Kenyataan inilah yang mengakibatkan seni budaya tradisional lambat laun tergeser dan mengalami kepunahan.

Berbagai upaya dan langkah yang dilakukan telah menimbulkan banyak masalah dan kendala. Munculnya pergeseran menimbulkan benturan-benturan nilai antara masyarakat agraris dan masyarakat industri. Kondisi perubahan masyarakat dengan tidak diimbangi oleh peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas. Masyarakat kita cenderung lebih mengarah pada masyarakat yang konsumtif dan bersifat komersial.

Dampak lain dari kondisi di atas adalah bertambahnya populasi masyarakat urban. Masyarakat semakin gencar bersaing mencari lahan pekerjaan di dunia industri. Masyarakat agraris sebagai ciri khas masyarakat kita semakin ditinggalkan. Salah satunya yang terkena dampaknya adalah kesenian daerah yang semakin dilupakan bahkan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Sehingga keberadaan dan eksistensinya semakin tidak berkembang bahkan mati. Seperti halnya seni Jolian yang berada di Desa Singawada Kecamatan Rajagaluh Kabupaten Majalengka. Saat ini kondisi kesenian ini sudah tidak hidup sekitar dari 29 tahun yang lalu. Seni Jolian sendiri lahir pada tahun 1930 atas alpukah[1] Ormat Wangsa Sentana (kepala Desa Singawada pada tahun 1930) sedangkan pembuat bentuk Jolian adalah Arnati (salah satu warga Desa Singawada). Seni Jolian berupa seni arak-arakan, yang berbetuk tandu yang di depanya diberi ornamen berbentuk ukiran kepala naga untuk memperindah tandu tersebut, kemudian Jolian diarak dengan memakai iringan musik yang menggunakan instrumens angklung dan Dogdog, goong. Pada awalnya seni Jolian ini berfungsi untuk ritual ruat bumi persembahan kepada Dewi Sri yang dianggap oleh masyarakat setempat yaitu dewi kesuburan. Dikarenakan melihat dari sisi sejarah yang cukup lama maka pada tahun 2011 sampai dengan sekarang masyarakat desa Singawada khususnya para seniman tradisional setempat yang terhimpun dalam satu kelompok yaitu Kuntum Mekar Budaya tergugah dan mereka mencoba merevitalisasi seni Jolian dengan dasar pertimbangan untuk mengangkat kembali keberadaannya.

 Sekilas Tentang Majalengka

Kira-kira pada abad ke 15 Masehi berdirilah suatu kerajaan Hindu yang disebut Sindangkasih (kini hanya sebuah desa terletak di sebelah tenggara ibu kota Majalengka jarak 3 Km di luar Kota). Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu cantik molek dan sangat sakti serta fanatik terhadap agama yang dipeluknya. Mengenai asalnya ratu itu tidak diceritakan yang jelas, namanya ialah Ratu Nyi Rambutkasih. Berkat pemimpin ratu yang bijaksana dan sakti itu, maka kerajaan Sindangkasih menjadi suatu daerah yang aman-makmur, gemah-ripah loh-jinawi, tata-tentrem kertaraharja.[1]

Rakyatnya hidup tentram damai dan aman sentosa, “rea ketan rea keton“. Demikian sejahtera dan bahagianya sehingga Sidangkasih dapat gelar Sugih Mukti yang berarti “kaya serta Bahagia”. Pengidupan rakyatnya sendiri dari bercocok tanam, terutama padi, sedang pakaiannya menenun sendiri dari hasil kapas tanamannya. Di lembah-lembah sungai subur ditanami tebu yang dibuat gula merah disamping gula dari pohon aren. Sebagian daerahnya terdiri dari hutan rimba yang membujur ke arah utara dan selatan. Konon kabarnya dalam Hutan itu bukan pohon kayu jati yang banyak, akan tetapi penuh dengan pohon maja. Batangnya lurus-lurus dan tinggi-tinggi, tetapi daunnya kecil-kecil dan pahit mempunyai khasiat untuk mengobati penyakit demam. Buahnya mirip buah “Kawista”, tetapi kulitnya agak lunak, isinya serasa dengan ubi jalar jenis “nikrum” yang dibakar (dibubuy dalam bahasa Sunda).

Dalam kurun waktu antara tahun 1552 – 1570 Cirebon telah diperintah oleh seorang guru besar Islam yaitu wali bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Konon Cirebon pernah terserang penyakit demam yang sangat hebat dan banyak korban. Sunan Gunung Jati karena seorang Wali yang agung selalu waspada, telah mengutus puteranya yang bernama Pangeran Muhammad untuk pergi mencari pohon maja ke daerah Sindangkasih guna ramuan obat penyembuh bagi rakyatnya, sekaligus dalam rangka tugas menyebarkan agama Islam. Pangeran Muhammad berangkat menuju Sindangkasih disertai isterinya bernama Nyi Siti Armilah yang berasal dari Demak/Mataram yang diserahi pula tugas untuk membantu suaminya dan ikut menyebarkan agama Islam.

Nyi Rambutkasih sebagai ratu Sindangkasih yang “waspada permana tingal” telah mengetahui akan kedatangan utusan Sunan Gunung Jati itu. Hatinya tidak ikhlas daerahnya diinjak oleh orang lain yang memeluk agama Islam. Konon kabarnya sebelum Pangeran Muhammad bertemu dengan Ratu Sindangkasih, hutan Sindangkasih yang asal mulanya penuh dengan pohon maja itu, telah “dicipta” berganti rupa, beralih menjadi raya yang sangat lebat tanpa sebatang pun masih tumbuh pohon maja yang berkhasiat itu. Pangeran Muhammad beserta isterinya alangkah kecewa dan terkejutnya demi diketahuinya ketika tiba di Sindangkasih itu, pohon maja yang diperlukannya sudah tidak ada lagi.

Selanjutnya diketahui, pada saat itu dari Pangeran Muhammad keluarlah ucapan atau perkataan “Maja Langka” (bahasa Jawa) artinya “Maja tidak ada”. Beranjak dari peristiwa itu, misi Pangeran Muhammad sangat perihatin dan berniat akan kembali ke Cirebon, sebelum maksudnya berhasil. Selanjutnya Pangeran Muhammad pergi bertapa di kaki gunung sampai wafatnya, dan gunung itu kini bernama “Margatapa”. Sebelum pergi bertapa, Pangeran Muhammad memberi amanat kepada istrinya (Nyi Siti Armilah), untuk terus berusaha menemukan pohon maja itu dan berusaha menaklukan Nyi Rambutkasih agar memeluk agama Islam[2].

Demikian sekilas kesejarahan Majalengka yang penulis dapat jelaskan berdasarkan sumber-sumber terkait, sehingga pada akhirnya Majalengka menjelma hingga kini dikenal sebagai sebuah daerah dengan ciri dan bentuknya tersendiri diatas daerah-daerah lainya di Jawa Barat.

Majalengka adalah sebuah kota kecil yang tergabung dalam tiga wilayah Kota Cirebon. Kabupaten Majalengka terdiri dari atas 23 kecamatan, yang dibagi atas 318 Desa dan 13 Kelurahan, dengan pusat pemerintahan berada di Kecamatan Majalengka.

 Sekilas Tentang Desa Singawada

Menurut sumber kesejarahan yang dapat penulis ungkapkan bahwa, Desa Singawada yaitu nama Singawada berasal dari kata Surawada. Surawada adalah nama seorang tokoh yang membuka hutan dikampung ini kemudian mengubahnya menjadi sebuah perkampungan. Surawada diperkirakan salah seorang penganut agama Hindu karena pada waktu itu kerajaan Rajagaluh menganut agama tersebut. Karena kampung Singawada sangat berdekatan dengan pusat kerajaan Rajagaluh, sehingga sangat mungkin jika kampung Singawada masih wilayah kekuasaan kerajaan Rajagaluh.

Setelah sebagian hutan di sekitar sisi berubah menjadi pemukiman kecil diperkirakan Surawada memberi nama kampung Singawada. Apa definisi dari kata Singawada sampai saat ini belum dapat informasi yang lebih jelas tentang makna tersebut, maka untuk menghindari kesimpangsiuran dari arti pemaknaan itu perlu diadakan pengkajian yang lebih dalam lagi dari makna yang sebenarnya.

Surawada tidak diketahui kapan meninggal bahkan semasa hidupnya, karena tidak ditemukan bukti-bukti peninggalan berupa pusaka, parasasti ataupun yang lainya. Hanya sebuah makam berumur ratusan tahun atau lebih dikenalnya di daerah makam buyut[1]. Buyut tersebut dikenal dengan sebutan buyut Surawada. Kemudian sekitar tahun 1528 M kerajaan Rajagaluh ditaklukan oleh tentara kesultanan Cirebon di bawah pimpinan Syekh Syarif Hidayatullahdan pada saat itu juga satu-persatu masyarakat kampung Singawada memeluk agama Islam.

Pada tahun 1627 M kampung Singawada kedatangan salah seorang Wadia[2] Mataram yang kembali setelah gagal melakukan penyerangan ke Batavia ( Jakarta ), para tentara Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung banyak yang tidak pulang ke kampung halamanya melainkan menyebar kepelosok kampung / desa dan salah satu tentara yang masuk ke kampung Singawada bernama Tuan Tarabasa ( Terbasa ) beliau menetap hingga meninggal dunia di sini. Beliau disemayamkan di sebuah tempat yang dihimpit oleh dua sungai yaitu Sungai Cibitung dan Sungai Cijarim di dusun puspasri RT. 04 RW. 06 dan tempat tersebut di sebut Buyut Kituan.

Tuan Terbasa seseorang yang memiliki wawasan yang luas dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi baik dalam bidang umum maupun agama. Semasa hidupnya beliau menjadi panutan masyarakat dengan potensi yang beliau miliki beliau membina masyarakat kampung Singawada terutama para pemuda dan pemudi, sehingga kampung Singawada mengalami banyak kemajuan. Kemudian berkat binaan dan didikan beliau diantara salah seorang pemuda kampung ini ada yang terlihat menonjol kecerdasanya sehingga pemuda ini terpilih menjadi kuwu pertama di Desa Singawada dan pemuda tersebut bernama Narsiyem atau sebutan lain yaitu Niti Wacana.



Konsep Pamali Kaitanya Dengan Seni Jolian

Pamali adalah salah satu istilah yang berkembang di masyarakat tradisi yang bersifat turun-temurun sebagai bentuk kepercayaan dari paham leluhur yang berlaku atau dipercayai hingga kini oleh masyarakat penyangganya. Pamali merupakan sebuah konsep keyakinan masyarakat secara komunal terhadap sesuatu yang dianggap sakral. Pandangan atau keyakinan terhadap sesuatu yang diamanatkan atau diingatkan oleh leluhurnya merupakan ketentuan tradisi bagi masyarakat setempat. Adapun perwujudan dari pamali itu sendiri identik dengan mantra-mantra atau jangjawokan yang dianggap dapat memberikan perlindungan bagi yang meyakininya. Berkenaan dengn konsep pamali kaitanya dengan pertunjukan seni Jolian di desa Singawada, dibawah ini akan diuraikan beberapa pendapat atau pandangan tentang konsep pamali menurut salah satu tokoh budayawan satempat yaitu Oom Somara de Uci menyatakan bahwayang di maksud dengan pamali adalah Pamali di lain tempat disebut panyaraman atau pantrang, sebuah diksi yang dekat dengan kosa kata Melayu, pantang. Keduanya memiliki arti yang sama. Yakni sama-sama berarti aturan tidak tertulis berupa larangan yang harus ditaati. Pamali sering didefinisikan dengan pantrangan. Orang menyebut demikian biasanya karena sulit untuk menjelaskan kata pamali ini.

Jika pamali sering diartikan sepintas cepat sebagai pantrangan, itu artinya tidak menjelaskan apapun. Seolah pamali telah tercipta begitu saja (taken for granted). Hingga tidak ada secuilpun kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang satu hal yang dipamalikan itu. Pada masyarakat Sunda, pamali menempati ruang istimewa. Letaknya berada pada hirarki paling tinggi dalam seluruh siklus kehidupan. Banyak orang mengalah atau menyerah untuk kemudian tunduk dan patuh pada pamali. Pamali lebih ditakuti dari pada hantu sekalipun. Biasanya alasan kenapa harus demikian tidak pernah diungkapkan. Cukup dengan menyatakan larangannya saja. Tetapi jangan pernah menganggap enteng terhadap pamali. Di beberapa tempat, pamali ini masih makan, makan artinya berlaku. Begitupun kaitanya dengan seni Jolian yang dipamalikan dengan dibuatnya isme-isme yang menakutkan terhadap Jolian. “Isme ini terjadi karena ada perubahan zaman untuk menetralisirkan kebudayaan lama yang kebanyakan dianggap musrik oleh kebudayaan baru maka dibuatlah konsep pamali pada kebudayaan-kebudayaan lama termasuk seni Jolian di dalamnya yang dianggap lebih efektif untuk masyarakat Sunda yang sebagian besar masih menganut paham pamali.”[1]

Memang benar adanya bahwa kaitanya konsep pamali dengan seni Jolian sangat erat dan berkembang menjadi paradigma menakutkan bagi masyarakat setempat. Tergambar ketika penulis ingin mengetahui keberadaan artepak Jolian yang beberbentuk kepala Naga yang berada diatap desa Singawada tidak sedikit orang yang memberi saran dengan kalimat “kahade bisi nanaon” yang artinya hati-hati takut terjadi hal yang tidak diinginkan (yang diinginkan disini bersifat yang berbau mistik).

(penulis adalah lulusan jurusan Karawitan STSI Bandung. Ia juga aktivis dalam bidang lingkungan yang tergabung dengan Mapala Arga Wilis)



[1] Diserikan melalui wawancara pada tanggal 07 September 2012.

[1] Makam Buyut adalah salah tempat dianggap keramat dan skral sebagai tempat peristirahatan tokoh adat setempat.

[2] Wadia adalah nama lain atau sebutan tentara, contoh dalam cerita pewayangan sering disebut wadia balad artinya pasukan bala tentara atau prajurit.

[2] Dikutif dari media online (http://222.124.159.131/cms-mjlk0.5.0rc3/index.php?mod=public&act=content&do=0&ct=2&cnt=61&cms_majalengka_0_1_0=59174d4e54299d8ab541c1865c3d1f20, 29 April 2008).

[1] Alpukah adalah sebuah istilah yang berkembang di masyarakat tradisi yang mengandung arti sebuah inisiatif atau pemakarsa dalam sebuah peristiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar